Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Pembuktian Tindak Pidana di Indonesia
Abstract
Dalam tahap pembuktian perkara pidana kerap adanya istilah saksi mahkota. Adanya saksi mahkota menimbulkan banyak persepsi, beberapa pihak beranggapan jika kemunculan saksi mahkota diijinkan guna meberikan rasa adil. Tetapi beberapa beranggapan sebaliknya karena bertentangan dengan hak asasi, persepsi itu juga ada di berbagai yurispurdensi putusan Mahkamah Agung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan saksi mahkota dalam proses pembuktian tindak pidana di Indonesia. Oleh karenanya permasalahan ini menarik mengenai bagaimana pengaturan saksi mahkota dipersidangan? Dan kedudukan saksi mahkota pada pembuktiaan tindak pidanaa. Penelitian ini memakai tipe penelitian normatif serta pendekatan undang-undang dan konseptual. Hasil dari penelitian ini menjelaskan jika pengaturan saksi mahkota tercantum pada Pasal 168 huruf c KUHAP dimana saksi mahkota merupakan penerapan Pasal 142 KUHAP. Kesaksian oleh saksi mahkota sama dengan keterangan saksi pada umumnya ini karena saksi mahkota ditunjuk dari seorang terdakwa yang menjelaskan tindak kejahatan yang mereka lakukan bersamaan dengan terdakwa lain, terdakwa yang menjadi saksi mahkota akan dimaafkan dan didakwa dengan pelanggaran ringan. Adanya saksi mahkota dalam pembuktian pidana diperbolehkan menurut KUHAP. Namun dalam berbagai yurisprudensi saksi mahkota dilarang. Kedudukan saksi mahkota diperbolehkan apabila kurangnya alat bukti yang diajukan di persidangan.
References
Anggasakti, T. (2016). Penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian Perkara pembunuhan berencana berdasar asas praduga Tidak bersalah (persumption of innocence),. Jurnal Verstek.
Askin, M. (2010). Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim Dan Strategi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi RI Mahkamah Agung RI.
Harahap, M. Y. (2000). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembal. Jakarta: Sinar Grafika.
Kaligis. (2006). Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni.
Kansil, C. S. T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta). Balai Pustaka.
Muharikin, I. M. (2015). Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Prodjohamidjojo, M. (1990). Komentar atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita.
Sutarto, S. (1991). Hukum Acara Pidana. Semarang: Badan Penerbit Undip.